Bisikan di Malam
Bulan purnama menyinari Pantai Yogyakarta, tapi udara terasa berat. Arga duduk di pasir, Tombak Karang di sisinya, cahayanya biru pudar. Lila memeluk Cermin Ombak dan Mahkota Pasang, matanya menatap laut yang terlalu tenang. Kerang di saku Arga berdenyut pelan, tapi bisikan aneh yang mereka dengar tadi malam masih menggema. “Kalian baru mulai,” kata suara itu, bukan Nyi Roro Kidul, bukan Sari.
Lila memecah keheningan. “Kamu dengar lagi?” tanyanya. Arga menggeleng, tapi tangannya memegang kerang erat. “Ada sesuatu di luar sana,” katanya. Cermin di tangan Lila bercahaya samar, tunjukkan bayang gelap di laut—bukan kapal Darmo, tapi sesuatu yang lebih besar, seperti pulau bergerak. “Itu bukan normal,” gumam Lila.
Tiba-tiba, angin dingin bertiup. Pasir berputar, membentuk sosok samar—wajah tanpa mata, suaranya serak. “Artefak itu kunci,” katanya. Arga angkat tombak. “Siapa kau?” teriaknya. Sosok itu lenyap, tapi kerang panas di tangannya. “Kita harus ke desa,” kata Arga. Lila mengangguk, wajahnya tegang.
Desa yang Waspada
Peringatan Mbok Sari
Desa Pantai Yogyakarta hidup kembali, tapi warga gelisah. Di lapangan desa, Mbok Sari pimpin pertemuan. “Laut tenang, tapi firasat buruk ada,” katanya. Arga dan Lila tiba, artefak tersembunyi di kain. Ibu Arga berdiri di sisi mereka, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalian baru pulang, sudah mau pergi lagi?” tanyanya. Arga memeluknya. “Kami harus, Bu.”
Mbok Sari lihat tombak di tangan Arga. “Itu panggilan ratu, ya?” tanyanya. Arga mengangguk. “Tapi, ada yang lain sekarang. Bukan Darmo.” Lila buka cermin, tunjukkan bayang di laut pada warga. “Ini datang setelah kutukan selesai,” katanya. Warga berbisik, beberapa takut. Mbok Sari menatap lama. “Itu roh kuno, lebih tua dari ratu,” katanya pelan.
Arga tersentak. “Roh kuno?” tanyanya. Mbok Sari mengangguk. “Mereka penjaga laut sebelum Nyi Roro Kidul. Mereka marah karena artefak bangkit.” Lila menatap Arga. “Kita harus ke laut lagi,” katanya. Ibu Arga memegang tangan mereka. “Kalian bukan sendiri,” katanya, beri mereka kain putih, lambang doa desa.
Rencana Terakhir
Arga dan Lila kembali ke rumah Arga, susun rencana. “Cermin bilang ke tengah laut,” kata Lila, lihat gambar pulau bergerak. Arga pegang tombak. “Kita butuh perahu besar kali ini.” Mereka tahu dermaga tak punya apa yang dibutuhkan. “Ada kapal tua di teluk sebelah,” kata Lila. “Berisiko, tapi mungkin satu-satunya cara.”
Kerang bercahaya, tapi tak ada suara Sari atau ratu. “Kita sendiri sekarang,” gumam Arga. Lila tersenyum tipis. “Kita selalu begitu.” Mereka kemas artefak, bawa kain putih dari ibu Arga. Malam itu, mereka berjalan ke teluk, hindari mata warga. Tapi, bayang samar mengikuti—mata kuning di kegelapan.
Teluk yang Gelap
Kapal Tua
Teluk sebelah Pantai Yogyakarta sunyi, hanya desau angin dan ombak pelan. Kapal tua terdampar di pasir, karat menutup lambungnya. Arga dan Lila naik, periksa dek. “Masih kuat,” kata Arga, tarik tali. Lila buka cermin. “Pulau itu lebih dekat sekarang,” katanya. Gambar tunjukkan karang hidup, bergerak seperti makhluk.
Tiba-tiba, air bergoyang. Sosok dari pasir tadi muncul lagi—roh kuno, tubuhnya karang retak, suaranya bergema. “Artefak bangunkan kami,” katanya. “Kembalikan, atau laut tenggelam.” Arga angkat tombak. “Kami tak akan serahkan!” teriaknya. Lila letakkan mahkota di cermin. Cahaya emas dan hijau tolak roh, tapi ia tak lenyap. “Kalian tak paham,” katanya, lalu hilang.
Arga dan Lila buru-buru dorong kapal ke air. Mesin batuk, tapi hidup. “Kita harus cepat,” kata Lila. Kapal meluncur ke laut, kerang pandu arah. Tapi, badai kecil muncul, petir menyambar. “Ini bukan alam,” gumam Arga. Cermin tunjukkan pulau—kini jelas, karangnya hidup, penuh mata merah.
Pulau yang Hidup
Kapal sampai di pulau aneh itu saat fajar. Karang bergerak, seperti napas. Arga pegang tombak, Lila cermin dan mahkota. Mereka melangkah ke daratan, tanahnya lunak, bau busuk. “Ini bukan pulau,” kata Lila, suaranya gemetar. “Ini makhluk.” Arga rasakan kerang panas. “Kita harus temukan pusatnya.”
Jalan karang bawa mereka ke lubang besar, seperti mulut. Cahaya samar keluar. “Artefak panggil kami,” kata suara roh kuno, dari dalam. Arga menatap Lila. “Kita masuk?” tanyanya. Lila angguk. “Tak ada jalan lain.” Mereka turun, artefak bercahaya terang. Tapi, dinding lubang bergerak, coba hancurkan mereka.
Jantung Pulau
Roh Kuno
Di dalam lubang, ruang besar terbuka. Karang hidup membentuk sosok raksasa—roh kuno, mata merah menyala, suaranya guncang tanah. “Kalian bawa artefak ke kematian,” katanya. Arga angkat tombak. “Kami lindungi laut!” teriaknya. Lila letakkan mahkota di cermin, cahayanya bakar karang.
Roh serang, karangnya jadi cambuk. Arga ayun tombak, potong mereka. Lila arahkan cermin, tolak serangan. Tapi, roh kuat. “Kalian tak bisa menang,” katanya. Kerang Arga bercahaya terang. Gambar di cermin berubah—Nyi Roro Kidul, tangannya terulur. “Satukan hati kalian,” katanya.
Arga dan Lila pegang artefak bersama. Tombak, cermin, mahkota bersatu. Cahaya biru, hijau, emas membutakan. Pulau meraung, karang retak. Roh kuno jatuh, suaranya memudar. “Kalian… pilih jalan ini…” katanya, lalu lenyap. Lubang mulai runtuh. “Lari!” teriak Lila.
Pelarian Terakhir
Arga dan Lila lari ke kapal, artefak di tangan. Pulau tenggelam, air naik cepat. Mesin kapal hidup, bawa mereka ke laut. Badai reda, laut jernih lagi. Tapi, cermin tunjukkan bayang kecil—kapal, bukan Darmo, tapi asing. “Bukan akhir,” gumam Arga. Lila memegang tangannya. “Tapi kita menang hari ini.”
Kembali ke Episode 10 | Lanjut ke Episode 12
BERSAMBUNG…
Bisakah Arga dan Lila hadapi kapal asing dan akhiri warisan Nyi Roro Kidul di Pantai Yogyakarta? Apa rahasia terakhir laut? Ikuti akhir petualangan epik!
