Panggilan Sang Penjaga Laut Selatan: Musuh Baru di Laut Selatan

Panggilan Sang Penjaga Laut Selatan: Musuh Baru di Laut Selatan

Bayang di Tepi Pantai

Malam menyelimuti Pantai Yogyakarta. Arga berdiri di pasir, memegang Tombak Karang yang bercahaya biru samar. Lila di sisinya, memeluk Cermin Ombak dan Mahkota Pasang terbungkus kain. Kerang di saku Arga berdenyut pelan, seperti peringatan. Langkah kaki di belakang membuat mereka menoleh cepat. “Siapa di sana?” tanya Arga, suaranya tegas.

Sosok keluar dari bayang. Bukan Darmo, tapi pria tua dengan jubah lusuh. Matanya dalam, penuh rahasia. “Kalian bawa beban besar,” katanya, suaranya serak. Lila mengerutkan kening. “Kamu siapa?” desaknya. Pria itu tersenyum tipis. “Aku Jaka, penjaga tua. Laut panggil aku, seperti kalian.” Arga pegang tombak lebih erat. “Penjaga? Dari siapa?”

Jaka menatap laut. “Bukan cuma Darmo yang incar artefak. Ada yang lain—bayang dari masa lalu ratu.” Kerang Arga panas. Suara Sari bergema di kepalanya. “Waspada. Ia tahu lebih dari yang ia katakan.” Arga dan Lila saling pandang. “Kami harus kembali ke desa,” kata Arga. Jaka mengangguk. “Aku ikut. Kalian butuh aku.”


Desa di Ujung Bahaya

Warga yang Resah

Desa Pantai Yogyakarta masih luka. Gudang hangus, warga berkumpul di lapangan. Mbok Sari pimpin doa, suaranya goyah. “Laut marah,” katanya. Arga, Lila, dan Jaka tiba di tepi kerumunan. Ibu Arga lari ke mereka. “Kalian selamat!” katanya, peluk Arga. Lila tersenyum, tapi matanya ke Jaka. Ia tak yakin percaya.

Mbok Sari lihat artefak di tangan Arga. “Itu… untuk laut?” tanyanya. Arga angguk. “Kami harus hentikan kutukan.” Warga berbisik. Beberapa takut, lainnya marah. “Orang kota bawa masalah!” kata seorang nelayan. Lila perhatikan Jaka. Ia diam, tapi matanya perhatikan semua. “Ada yang aneh,” bisik Lila pada Arga.

Arga pegang kerang. “Kita harus simpan artefak aman,” katanya. Jaka mendekat. “Ada tempat suci di hutan. Hanya penjaga tahu.” Arga ragu, tapi cermin di tangan Lila bercahaya. Gambar muncul: kuil kecil, dikelilingi karang. “Dia mungkin benar,” kata Lila. Arga mengangguk, meski firasat buruk ada.

Rencana Berisiko

Mereka putuskan ke hutan malam itu. Arga bawa tombak, Lila pegang cermin dan mahkota. Jaka pimpin jalan, langkahnya pasti. “Kuil ini lindungi artefak kuno,” katanya. “Tapi, musuh baru dekat.” Arga tanya, “Musuh apa?” Jaka diam sejenak. “Siluman tua, pengkhianat ratu.” Kerang Arga berdenyut keras. Ia tahu ini tak sederhana.

Hutan gelap, angin bawa bisik aneh. Lila pegang senter, tapi cahaya kerang cukup. “Kamu percaya dia?” bisiknya pada Arga. Arga geleng pelan. “Belum. Tapi, kita butuh jawaban.” Mereka terus jalan, tak tahu mata kuning mengintip dari bayang.


Kuil di Hutan

Tempat Suci

Kuil kecil muncul di tengah hutan. Dindingnya karang, penuh ukiran ombak dan sosok Nyi Roro Kidul. Altar di dalam kosong, tapi bercahaya lembut. “Letakkan artefak di sini,” kata Jaka. Arga ragu. “Kenapa di sini?” tanyanya. Jaka menatapnya. “Hanya di sini aman dari pengkhianat.”

Lila buka cermin. Gambar tunjukkan kuil, tapi bayang gelap bergerak di sekitar. “Arga, hati-hati,” bisiknya. Arga pegang tombak. “Kami tak akan serahkan begitu saja.” Jaka tersenyum tipis. “Kalian bijak. Tapi, waktu singkat.” Kerang panas di saku Arga. Suara Sari muncul. “Ia bukan musuh, tapi ia simpan rahasia.”

Arga letakkan tombak di altar. Lila taruh cermin dan mahkota. Cahaya biru, hijau, dan emas bersatu, guncang kuil. Gambar di cermin berubah—laut jernih, tapi sosok gelap muncul. “Itu pengkhianat,” kata Jaka. “Ia bangkit karena artefak berkumpul.”

Serangan Tiba-Tiba

Tiba-tiba, angin menderu. Bayang hitam keluar dari hutan—siluman tua, tubuhnya karang retak, mata merah menyala. “Artefak milikku!” raungnya. Arga rebut tombak. Lila pegang cermin. Jaka tarik pisau kecil, berdiri di sisi mereka. “Kalian tak siap untuk ini,” katanya, tapi suaranya tenang.

Siluman serang. Arga ayun tombak, cahaya biru bentur karang siluman. Lila arahkan cermin, cahayanya butakan makhluk itu. Jaka lempar pisau, tapi siluman tak jatuh. “Kalian lemah!” teriaknya. Mahkota di altar bercahaya, seolah panggil siluman. Arga rasakan kerang panas. “Kita harus satukan artefak!” katanya.


Rahasia Jaka

Pengakuan di Tengah Pertarungan

Arga pegang mahkota, Lila cermin, dan tombak di tangan. Cahaya artefak bersatu, tolak siluman. Tapi, Jaka tiba-tiba berlutut, wajahnya pucat. “Aku pernah gagal,” katanya. “Aku penjaga lama, biarkan pengkhianat ini lahir.” Arga tersentak. “Kenapa tak bilang?” tanyanya. Jaka menatap siluman. “Aku ingin tebus dosa.”

Siluman tertawa. “Kau takkan menang, Jaka!” Ia serang lagi. Arga tarik Jaka. “Bantu kami!” katanya. Jaka bangkit, ambil pisau. Bersama, mereka tolak siluman ke hutan. Cahaya artefak makin kuat. Siluman meraung, lalu lenyap. Tapi, kuil bergoyang. “Kita harus pergi!” kata Lila.

Mereka lari, bawa artefak. Di luar, laut bergemuruh. Cermin tunjukkan bayang lain—Darmo, di kapal besar, artefak merah menyala. “Dia kembali,” gumam Arga. Jaka menatap mereka. “Kalian butuh aku. Tapi, rahasia ratu belum selesai.”


Kembali ke Episode 7 | Lanjut ke Episode 9
BERSAMBUNG…
Akankah Arga dan Lila ungkap rahasia Nyi Roro Kidul bersama Jaka di Laut Selatan? Bisakah mereka hentikan Darmo dan pengkhianat? Ikuti kelanjutan petualangan epik!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top