Langit malam itu cerah tak seperti biasanya. Bulan purnama menggantung bulat sempurna di atas Desa Arut, memandikan desa dengan sinar pucat kekuningan. Namun, alih-alih ketenangan, malam ini terasa lebih mencekam.
Ritual di Tepi Hutan
Raka berdiri di tepi hutan bersama Laras dan Pak Dargo—lelaki tua, keturunan sesepuh Desa Arut, yang tahu seluk-beluk perjanjian berdarah. “Semua sudah diatur,” gumam Pak Dargo sambil menancapkan sebatang dupa hitam ke tanah. “Tapi malam ini, penghuni hutan akan datang sendiri.”
Laras menatap Raka, wajahnya pucat. “Mas, apa pun yang nanti Mas lihat, jangan melangkah ke dalam lingkaran ini,” katanya, menunjuk garis melingkar dari bubuk putih yang mengitari mereka.
Angin berdesir keras, membawa aroma bunga bangkai bercampur tanah basah. Daun-daun bergetar, dan ringkikan samar terdengar dari kejauhan—suara yang sudah tak asing bagi Raka.
Kemunculan Penunggu Hutan
Tiba-tiba, bayangan tinggi besar muncul di antara pepohonan. Wujudnya perlahan jelas—makhluk hitam legam dengan mata merah menyala, hampir dua kali tinggi manusia dewasa. Tubuhnya diselimuti kabut tipis, tangannya menggantungkan kain putih berlumur darah.
Pak Dargo mengucap mantra dalam bahasa Dayak tua, suaranya berat dan ritmis. Makhluk itu berhenti di ujung lingkaran, menatap tanpa berkedip.
“Kenapa kalian panggil aku?” suaranya bergema, kasar bercampur melengking.
Pak Dargo menarik napas panjang. “Perjanjian sudah terlalu lama. Kami ingin mengakhirinya.”
Makhluk itu menggeram. “Tapi tumbal terakhir belum diberikan. Kalian melanggar.”
Pengorbanan Bu Ratmi
Dari balik semak, Bu Ratmi muncul tiba-tiba. Wajahnya pucat, matanya kosong. Tanpa disadari, ia melangkah masuk ke dalam lingkaran.
“Bu Ratmi! Jangan!” seru Laras panik.
Namun terlambat. Makhluk itu bergerak cepat, mencengkram lengan Bu Ratmi. Tubuhnya tampak kehilangan jiwa, bibirnya bergetar tanpa suara.
Pak Dargo gemetar. “Dia cucu dari leluhur yang mengingkari perjanjian. Karena itu penghuni hutan selalu datang kembali.”
Makhluk itu menatap Raka, lalu berbisik, “Kalian punya satu kesempatan. Buka jalan ke tempat asal perjanjian, di malam ketujuh. Kalau tidak, desa ini kuambil semuanya.”
Dengan raungan keras, makhluk itu menghilang bersama Bu Ratmi, meninggalkan aroma darah di udara.
Peta Menuju Batu Sumpah Darah
Keesokan paginya, desa kacau. Warga gempar karena Bu Ratmi hilang. Raka dan Laras mencari informasi tentang “tempat asal perjanjian.”
Pak Dargo mengeluarkan peta tua dari lemari kayu di rumahnya, menunjuk titik di ujung hutan—lokasi bernama “Batu Sumpah Darah,” tempat leluhur membuat perjanjian.
“Malam ketujuh jatuh lima hari lagi,” kata Pak Dargo dengan wajah muram. “Kalau kita ingin selamatkan Bu Ratmi dan desa, kita harus ke sana… tapi tak semua bisa kembali.”
Raka mengepalkan tangan. Kali ini, ia tahu, ia tak bisa hanya jadi penonton.
Kembali ke Episode 4 | Lanjut ke Episode 6
BERSAMBUNG…
Akankah Raka, Laras, dan Pak Dargo temukan Batu Sumpah Darah sebelum terlambat? Apa rahasia kelam yang tersembunyi di hutan Desa Arut? Ikuti kelanjutan misteri ini!
