Panggilan Sang Penjaga Laut Selatan: Jejak Tombak Karang di Laut Selatan

Panggilan Sang Penjaga Laut Selatan: Jejak Tombak Karang di Laut Selatan

Pelarian di Tengah Malam

Gudang tua di Pantai Yogyakarta berderit keras. Cahaya merah dari artefak Darmo menyelinap lewat celah pintu. Arga memegang Cermin Ombak erat, kerang di sakunya panas. Lila berdiri di sisinya, tangan gemetar tapi matanya tajam. “Kalian tak bisa lari,” kata suara Darmo, dingin seperti angin laut. Pintu mulai retak.

“Lila, ke belakang!” bisik Arga. Mereka lari ke sudut gudang, cari jendela kecil. Lila dorong peti kayu, buat pijakan. “Cepat!” katanya. Arga lompat keluar, tarik Lila. Mereka mendarat di pasir, napas tersengal. Langkah berat Darmo terdengar di dalam. “Ke hutan!” kata Arga. Mereka lari, bayang pohon kelapa goyang di bawah bulan.

Hutan kecil di tepi pantai gelap. Arga pegang cermin, cahayanya samar pandu jalan. Lila menoleh. “Dia masih kejar kita,” bisiknya. Arga tahu waktu mereka sempit. Kerang berdenyut cepat, seolah peringatkan. “Kita harus ke gua lain,” katanya. “Tombak Karang ada di sana.” Lila angguk, meski wajahnya pucat.


Jejak di Pantai Lain

Peta dari Cermin

Mereka berhenti di tepi hutan. Laut Selatan bergemuruh di kejauhan. Arga buka kain cermin. Gambar di dalam bergerak: karang besar, gua tersembunyi, ombak kuat. “Itu bukan pantai kita,” kata Lila. “Mungkin pantai sebelah.” Arga ingat kata Sari: “Tombak Karang di gua baru.” Kerang bercahaya, tunjuk arah barat.

“Kita butuh perahu,” kata Arga. Lila menatapnya. “Setelah apa yang terjadi di dermaga? Kamu yakin?” Arga mengangguk. “Tak ada pilihan. Darmo takkan berhenti.” Mereka kembali ke desa, hati-hati hindari jalan utama. Dermaga sepi, tapi bau bakar masih ada. Mereka temukan perahu kecil tersisa.

Lila pegang dayung. “Aku bantu,” katanya. Arga tersenyum tipis. “Kamu selalu begitu,” gumamnya. Mereka meluncur ke laut. Bintang redup di atas, tapi kerang jadi kompas. Arga lihat ke cermin. Bayang ayahnya muncul lagi, wajahnya penuh luka. “Dia hidup,” pikir Arga. Tapi, ia tahu harus fokus.

Desa yang Berubah

Di desa, kabar buruk menyebar. Mbok Sari panggil warga pagi itu. “Ada orang kota datang,” katanya. “Mereka mau bangun di pantai!” Warga resah. Arga dan Lila tak tahu ini, tapi firasat buruk ada. Darmo, dengan koneksinya, mulai gerakkan rencana. Laut Selatan bukan cuma milik Nyi Roro Kidul lagi—ia jadi incaran.


Gua Baru dan Bahaya

Perjalanan Berisiko

Perahu mereka sampai di pantai sebelah saat fajar. Karang besar menjulang, seperti di cermin. Gua kecil ada di dasarnya, setengah tenggelam. “Itu dia,” kata Arga. Mereka ikat perahu, masuk gua. Air laut masuk sampai lutut. Lila bawa senter, tapi kerang Arga cukup terang. Dinding gua penuh lumut, bau garam kuat.

Lorong sempit bawa mereka ke ruangan besar. Di tengah, tombak karang berdiri, penuh ukiran ombak. Cahayanya biru lembut. “Tombak Karang,” gumam Arga. Tapi, ia rasakan sesuatu. Kerang panas. “Kita tak sendiri,” bisiknya. Lila menoleh. Bayang bergerak di air.

Serangan Siluman

Bayang itu jadi makhluk—tubuhnya licin, mata kuning, gigi tajam. “Cermin dan tombak milik kami!” raungnya. Arga pegang kerang. Cahaya hijau tolak siluman, tapi ia kuat. Lila lempar batu, ganggu makhluk itu. “Lari, Arga!” teriaknya. Arga raih tombak. Berat, tapi hangat di tangan. Ia ayun tombak ke siluman. Cahaya biru meledak, buat makhluk itu lenyap.

Arga dan Lila terengah. Tombak di tangan Arga bercahaya. “Kita dapatkan,” kata Lila, tersenyum lelah. Tapi, suara tawa dingin bergema. Darmo berdiri di pintu gua, artefak merah di tangannya. “Bagus, anak muda,” katanya. “Kau bawa tombak itu untukku.”


Konfrontasi dengan Darmo

Musuh yang Licik

Arga pegang tombak dan cermin. Lila berdiri di sisinya, tak mundur. “Kau tak bisa ambil ini,” kata Arga. Darmo tersenyum. “Aku tak perlu ambil. Kau akan serahkan.” Artefaknya bersinar merah. Air di gua naik, penuh bayang kecil. “Serahkan, atau desamu hancur,” ancamnya.

Arga ingat desa, ibunya, warga. Tapi, ia juga ingat kata Nyi Roro Kidul: “Buktikan hatimu.” Ia ayun tombak. Cahaya biru bentur cahaya merah. Gua bergoyang. Lila tarik Arga. “Kita harus lari!” katanya. Mereka lari ke lorong, air kejar mereka. Darmo tertawa di belakang. “Kalian takkan menang!”

Bantuan Gaib

Di ujung lorong, air hampir tenggelamkan mereka. Tapi, suara Sari muncul. “Pegang erat artefak itu!” katanya. Cahaya hijau dari kerang dan biru dari tombak bersatu. Air surut. Arga dan Lila keluar gua, jatuh di pasir. Darmo tak ikut. “Dia tak menyerah,” kata Arga. Lila angguk. “Tapi, kita punya ini.” Ia tunjuk tombak.


Langkah Berikutnya

Malam kembali. Arga dan Lila sembunyi di hutan dekat pantai. Cermin dan tombak di sisinya. Kerang bercahaya pelan. “Mahkota Pasang,” gumam Arga, ingat artefak terakhir. Tapi, ia tahu Darmo lebih dekat. Cermin tunjukkan desa—api kecil mulai muncul. “Mereka dalam bahaya,” kata Lila.

Tiba-tiba, bayang bergerak di hutan. Bukan siluman. Manusia. “Kalian tak bisa sembunyi,” kata suara asing. Arga pegang tombak. Lila siap lari.


Kembali ke Episode 4 | Lanjut ke Episode 6
BERSAMBUNG…
Akankah Arga dan Lila selamatkan desa dari ancaman Darmo di Pantai Yogyakarta? Apa rahasia Mahkota Pasang yang dicari Nyi Roro Kidul? Ikuti kelanjutan petualangan di Laut Selatan!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top